Singal’s Weblog

Just another WordPress.com weblog

Archive for the ‘Pariwisata’ Category

Borhat ma ahu, dungi mulak muse. (Saya pergi untuk pulang)

leave a comment »

Saya senang juga karena siklus keseharian tubuhku tidak terganggu. Pesawat yang membawaku ke Lubuklinggau berangkat pukul 11.00. maka kemarin tidur dan bangun pagi hari ini berlaku seperti biasa, cuma hmmm..perutku agak terganggu, diaree..entah apa penyebabnya.

Besok, presentasi menjelaskan pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh calon kontraktor, lalu menunjukkan lokasi ditengah hutan di suatu tempat di Sumatera Selatan, dan menyusurinya lewat jalan besar menuju Bangko Sumatera Barat, kembalinya ke arah timur di suatu tempat dekat kota Jambi. Hmmm..hutan daerah ini tidak asing bagiku.

Tahun 2006-2008 yang lalu, saya dengan dua orang temanku selalu menyusuri hutan hutan ini, banyak dinamika, hutan, lumpur jalan tanah, perkampungan, rumah satu satu, sore, malam gelap, suara binatang, jalan ke kota kecil menginap masih jauh.

Kini saya duduk ditaksi, bertiga tidak kenal satu sama lain, tadi saling menunggu Bus DAMRI yang tak muncul muncul, sepanjang perjalanan saya melihat kesibukan Jakarta dari jendela, gedung motor, mobil, jalan tol, jalan umum pejalan kaki, pedagang pinggir jalan semua tergesagesa.

Tentu, tentu saya diberangkatkan istri tercinta polisi toba. Saya diantar ke stasiun bus. Berdoa, selamat pergi, selamat diperjalanan, selamat pulang. Tuhanku yang mengaturnya, lalu kami serahkan hidup kami sepenuhnya kepadaNya. Juga anak dan cucu kami, mereka the next generation agar hidup dijalan dan didalam kesukaanNya. Amen.

#imajo, borhat ma ahu, dungi mulak muse. Saya pergi untuk pulang.

Written by Singal

November 23, 2019 at 9:38 am

Saya cuma salah seorang pekerja.

leave a comment »

Kucoba mengingat, sudah berapa kali saya mengunjungi hutan Sumatera Selatan dan Jambi pada satu dekade ini, tetapi yang muncul adalah Indonesia negeri yang kaya, lalu siapa pemiliknya. Pertanyaan yang melahirkan pertanyaan baru dan pertanyaan lebih baru dan pertanyaan terbaru.

Hari ini saya mengikuti rombongan calon investor dan kontraktor meninjau suatu lokasi untuk kepentingan pembangkit tenaga listrik dan penyalurannya ke sistem Sumatera. Semoga berhasil, semoga.

#imajo, Saya cuma salah seorang pekerja dalam tim desain gardu induk dan transmisi untuk pembangkit ini.

Written by Singal

November 23, 2019 at 9:25 am

Ari paduahon, Surat paduahon. Hari Kedua

leave a comment »

28 Desember 2018,

Kemarin, “Kulihat ibumu” itulah bisikan pertama yang kudengar ketika berpelukan dari kedua nantulangku ini, yang satu tinggal di suatu tempat tepian danau toba dan satu lagi tinggal di Tarutung lembah Silindung. Mereka sudah uzur, tua banget tetapi ingatan dan tutur kata masih jernih dan mengingat kami satu per satu begitu menyebut nama masing masing.

Tadi siang kami mengunjungi amangnoru di Lintongnihuta isterinya adik perempuan ayahku sudah lama tiada, sudah lama pergi ke sisi Tuhanku.

Saya mengerti banget, melihat wajahnya hampir menangis begitu kami letakkan ikan arsik ke hadapannya, lalu saya menyatakan “ini ikan kami bawa, ikan yang selalu beriringan bermata jernih. doa kami kepada Tuhan, semua turunan anak cucumu dan amangboru selalu beriringan melihat dan merasakan semua yang baik di dunia fana ini”. Kuusap punggungya “kami tidak memberitahukan kedatangan kami,, amangboru!” kataku, tetapi beliau masih terpaku, hmmm batak tulen beliau memikirkan seharusnya menyiapkannya balasannya. Lalu kami ngobrol senang, tambah sehat amangboru!.

#itulah dulu, sering low bat, gue masih jalan terus mengunjungi gereja gereja dimana saya dan nenek moyang menjadi jemaatny#

Written by Singal

January 12, 2019 at 2:41 pm

Countdown, zero

leave a comment »

The first time for the next generation

Ini kampungmu, rasakan dingin dan tiupan angin dataran tinggi kampung nenek moyangmu. Kuserahkan mereka kepadaMu Tuhanku. Amin

Written by Singal

January 12, 2019 at 2:26 pm

Countdown pulang bagian ketujuh.

leave a comment »

Ruang tunggu keberangkatan cengkareng.
Seolah sudah di kampung.

Obrolan orang menggunakan bahasa Batak, bahasa sukuku di ruang tunggu keberangkatan Cengkareng ke bandara Silangit yang sangat padat seolah kita berada di kampung di Tapanuli.

Maka lengkaplah kami berduabelas kakak beradik bersama menantu dan anak cucu masing masing, “podami do dainang dohot damang marmudu mudu hami, asa tongtong dibagasan dame nangpe masiboan lehengna” , nasehat ibu dan ayah yang sudah lama tiada “kalian harus selalu bersatu dalam kasih dan damai, meski berbeda nasib dan kehidupan” hahaha susah menerjemahkannya. Itu bahasa Indonesia BTL, batak tembak langsung.

Sirsak ini akan matang sebaik kami pulang ke Jakarta. Pasti enak ia memberi buah yang bagus. Maka semoga hidup kami memberi buah yang baik, dan berguna bagi sesama, Amen.

Kami sudah diboarding room, sertai kami Tuhan. Amen

#imajo, kampungku!, ini kami datang#

Written by Singal

January 12, 2019 at 2:20 pm

Countdown, pulang bagian keenam

leave a comment »

Bahasa Batak, bahasa suku ku.

Nunga sahat be sude keluarga nahutudohon di Huta. Borngin on marari pesta di HKBP Godung Lintongnihuta, songon naung hupatota hami di Jakarta on minggu nasalpu, jala markor do nasida “Bintang torang diborngin nabadia”

Agai amang, songon nahubege endei, laho borhat hami marnatal saonari tu GKI Cinere.

Tgl 26 pe hami mulak,, jala laos botarinai, maracara ma hami diuluhon amang pandita sian HKBP Sabungan Siborongborong, huria nami molo di huta on. Boi dohonon masipudian do jabu nami dohot gareja I.

On dope naboi husurathon saotik. Selamat Ari Natal ma di hita sude. Sai mian ma dame na sian Tuhanta Jesus Kristus dihita, saleleng hita diportibi namangilas on. Amen

#imajo, Dame ma dihita sude#

Written by Singal

January 12, 2019 at 2:15 pm

Countdown, pulang bagian kelima

leave a comment »

Makin rindu.
Ini kampungmu, kelak kalian mencintainya

Air liurku sudah terbit. Pastilah saya makan gulamo, sejenis ikan asin sebesar ibu jari panjangnya kira kira 10 cm, kalau dibakar atau digoreng harumnya bukan main, tetangga pasti ikut menciumnya, hehehe atau ikan rebus sejenis ikan gembung, lalu cabe giling dengan andaliman sejenis rempah hanya tumbuh di Tapanuli.

Ingin kuminum air tajin diberi garam sedikit. Hahaha, beras dikampung tidak pernah dicuci karena memang bersih dan asli, semoga masih seperti itu. Daun singkong tumbuk, atau sayur manis atau sayur pahit dibening…waah..ini saya datang.

Makan buah tarutung, duren dalam bahasa Indonesia, hehehe, buah hapundung dan buahbuahan lain yang tidak ada di Jakarta, biasanya musim buah buahan hutan pada bulan Desember.

Kami akan ke kampung ibuku disalah satu tepi danau toba, masih ada nantulangku istri paman di sana, janda tua masih kuat naik turun bukit ke kebunnya, pasti kami bahagia menangis berpelukan, lalu beliau akan masak mujair dan ikan mas dari danau, selalu begitu.

Kami juga akan ke kota Tarutung, tempatku masa kanak kanak sampai remaja, lalu tembak langsung ke Jakarta.

Akan kuberikan perasaan itu ke anak cucu, perasaan kampung halaman, kelak mereka mencintainya. Hmmmm.. our next generation, ini kampungmu Huta Pinungka Lintong ni Huta Humbang Hasundutan, tentu juga Siborongboron Tapanuli Utara

#imajo, anak menantu dan cucu, ini kampungmu#

Written by Singal

January 12, 2019 at 2:12 pm

Countdown, Pulang bagian keempat

leave a comment »

Marungkil, kuberserah kepadaMu

Saya sedang memperhatikan tiket pesawat pulang kampung. Pikiran duniawi dan dunia imanku muncul bergantian, lalu saya berserah kepada Tuhan. Hmmm …dasar gue manusia di dunia fana, tetap saja mereka muncul berselang seling meski tidak mengganggu kegiatanku, maka saya marungkil, baca marukkil.

Susah juga mencari padanan kata bahasa batak “marungkil” ke bahasa Indonesia, artinya keinginan mengambil keputusan untuk keluar dari sesuatu yang menakutkan dan pasti dapat kita lakukan, tetapi bertentangan dengan hal yang lain, semua dalam hal yang baik dan positif, lalu akhirnya kita mengadu dan berserah kepada Tuhan. Saya tidak tahu kalau seorang atheis marungkil, dia mengadu kepada siapa, ini pun menurutku hehehe.

Tadi malam anak bungsuku tiba di rumah dari suatu kota di Kalimantan tempat dia bekerja. Ditengah obrolan kami mengenai pulang kampung, saya bertanya “naik pesawat apa nak ke kampung?” ternyata kami satu pesawat. Sebelumnya dua keluarga anak menantu dan cucu, telah memberitahu berangkat dengan pesawat yang sama juga, mereka bebas memilih pesawat masing masing. Jantungku berdegup, kini saya marungkil, lalu berserah kepadaNya.

Lalu saya menerawang meninggalkan parungkilon kata benda dari kata marungkil. Apalah kubilang, sorot mata itu, membuatku surut ketika saya berbuat salah, meski salah kecil menurutku, kadang hanya karena bunyi sendok beradu dengan gelas ketika menyiapkan kopi atau teh kepada tamu yang sedang berkunjung, apalagi kalau ternak belum kami beri makan atau pekerjaan lain yang sederhana. Apalah kubilang, sorot mata itu, membuatku melayang seolah di surga dekat Tuhan, ketika harus meninggalkannya berangkat sekolah jauh darinya. Apalah kubilang, sorot mata itu, sorot mata yang sama pasti menghujam menyerap kepada adik adik saya dan juga meninggalkannya. Apalah kubilang, kini, sorot mata itu, masih tertanam dalam diri kami, menanamkan daya survival yang tinggi dan nasehat bersatu dalam damai, meski hmmm..kami pasti berbeda.

Ohhh…. ibuku yang kurus dan kuat, ibu yang melahirkan kami kakak beradik, ibu yang mendidik kami ditengah kehidupan yang keras, bertani berkebun dan beternak. Kami datang, kami pulang, kami pasti mengunjungi gereja kita pada Natal dan Tahun Baru ini mengenangmu, tentu kami akan mengunjungi makammu dan suamimu yang hebat, ayah kami.

Pikiranku penuh, menyongsong hari H sambil memilih ulos, yang akan kami uloskan atau berikan kepada anak besan kami yang akan melangsungkan pernikahannya di kampung tgl 29 Desember yang akan datang.

#itulah dulu, saya marungkil, kami berserah kepadaMu Tuhan. Amin#

Written by Singal

January 12, 2019 at 2:09 pm

Countdown, pulang bagian ketiga

leave a comment »

Kewajiban

Penuh sesak, saya memiringkan badan ditengah kerumunan orang yang antri tidak teratur menuju loket pajak progresif, map yang berisi fotocopi dan asli stnk dan ktp kuberikan kepada petugas, “letakkan saja pak, silahkan tunggu pak nanti dipanggil” katanya. Ini adalah loket pertama yang harus saya lewati setelah kelelahan diantrian tukang fotocopi.

Hmmm..saya berada di layanan publik yang sangat padat, menunggu panggilàn dari loket kedua pengesahan kendaraan roda 4, untuk menunjukkan BPKP asli kendaraan. Lalu ada dua loket lagi, loket pembayaran tunai dan loket pencetakan dan penyerahan.

“Pak sewa villa di kampung itu per kamar bukan per rumah dan semua kamar sudah penuh” suara anak bungsu saya dari Kalimantan. “pakai message whatsap nak, bapak lagi bayar stnk penuh sesak” sahutku, lagipula tidak etis pembicaraan telepon didengar orang banyak dan saya enggan menembus kerumunan orang yang penuh sesak itu.

Suara teriakan langsung petugas atau melalui pengeras suara dari setiap loket bersahutan bahkan sering bersamaan memaksa saya harus mengontrol pikiran memusatkan pendengaran, sementara saya chatting dengan anak bungsuku.

Suara petugas itu bercampur dengan hiruk pikuk orang yang terpusat berdesakan didepan setiap loket meski bunyi pengeras suara “mohon tidak bergerombol didepan loket” hampir setiap menit berkumandang. Bau pengap, entah itu dari bajunya atau jacketnya entah itu dari keringatnya menjadi tidak terasa dalam ruang tunggu yang relatif sempit ini terlihat dari wajah wajah letih, wajah wajah senyum melihat hpnya dan wajah berbagai mimik seolah tidak memperdulikannya.

Akhirnya mereka anak anak dan cucu dapat kamar juga, setelah menghubungi pemiliknya yang masih saudara, mungkin ada cadangan privilage. Sebenarnya masih kuajak mereka tetap menginap dirumah peninggalan kakeknya sebagaimana biasanya kalau pulang kampung. “itu kan, dulu pak. lagi pula abang dan kakak sudah berkeluarga dan punya anak” kata anak bungsuku.

Bukan jakarta kalau tidak macet, bukan biasa kalau tidak diulang menyatakannya….hehehe dari kantor Samsat Cinere saya arahkan mobil tuaku ke arah utara menuju tukang pangkas yang berada disebelah kiri pinggir jalan Cinere Raya kira kira 10 ruko arah sebelah kanan pertigaan menuju Jl. Bandung. Kuputar radio namun tidak kudengar karena pikiranku melayang ke kampung halaman, kaki dan tangan dalam mode otomatis rem, gas dan klakson.

Dua belas keluarga kakak beradik beserta anak menantu dan cucu berkumpul di hari Natal, berkumpul di tanah nenek moyang, berkumpul di rumah orang tua yang sudah tiada, berkumpul mengenang mereka sambil memuji Tuhan. Kini sebagai anak sulung sesuai adat istiadat kami suku Batak, saya dan istri tercinta polisi toba menjadi orang tua mereka, kami menjadi orangtua adik adik kami, berat…. tetapi kami menjalankannya dengan senang hati dan penuh syukur atas berkatNya.

Perhatianku, perhatian kami kakak beradik, akan menjadi perhatian anak menantu dan cucu, “ini lah kampung halamanmu” kata nenek moyang, “jaga!, awasi ia dengan baik” tentu itu kata mereka dan kataku juga. Tak lama lagi kalian the next generation, kalian pengganti nenek moyang dan kami di tanah ini.

Tentu, secara khusus akan kutunjukkan kepada kalian, dimana kami dibesarkan, bersekolah dan bersekolah minggu. Tempat kami mengecap ilmu dasar dan dipatri menjadi sebagian dari karakter, hahaha menjadi “kutu buku”. Dengan cara yang sama dalam bentuk yang berbeda telah kami berikan kepada kalian di tanah perantauan…hehehe ditanah kalian besar yang penuh haru biru ini. Kami percaya kemampuan kalian penuh kemandirian, independen satu sama lain meski dependen oleh darah kalian. Seperti kami orangtua kalian kakak beradik, independen tetapi satu hati, saurdot dalam bahasa batak meski berbeda beda.

“Hei kalian anak menantu dan cucu, kutunjukkan sebagian foto yang saya jepret ketika kita pulang kampung tiga tahun yang lalu. Foto sekolahku, foto Gerejaku dan foto sebagian pemandangan Rura Silindung yang selalu terlihat jika kami pulang sekolah, dan akan kita lihat lagi, menjadi sebagian dari memori kalian.

#itulah dulu, kewajiban membayar STNK, gue sudah di rumah dengan kepala polontos alias gundul#

Written by Singal

January 12, 2019 at 1:52 pm

Ternyata mereka bisa dan hebat

with 2 comments

Sepanjang Perjalanan dari Gorontalo ke Molibagu menyusur pantai arah selatan dan bukit terjal di sebelah Utara

Selasa pagi, 13 November 2018. Penuh juga satu piring, saya mengambil semua makanan yang disediakan, masing masing sesendok makan, untuk sarapan pagiku, sudah menjadi kebiasaanku setiap kali menginap di Hotel, lalu kopi dan telur mata sapi setengah matang yang dibuat kalau kita pesan.

“Sudah berkeluarga pak?” tanyaku kepada pak supir yang menemani kami selama di Gorontalo ini, mobilnya kami sewa termasuk menginap. Hmmm..pertanyaan yang aneh dan tidak sopan kalau di negeri Barat.
“Satu putra sudah semester empat, satu putri masih SMA” jawabnya, kami menghabiskan makanan masing masing lalu keluar dari ruang makan mencari udara segar. “Hidup kita untuk mereka Pak, beri mereka dukungan dan semangat” kataku. Dia mengangguk sambil menghembuskan asap rokok dari hidungnya, hehehe…gue juge.

Dia tinggal bersama keluarga di daerah perbatasan propinsi Gorontalo dengan propinsi Sulawesi Utara, punya usaha sewa mobil dan punya kebun cengkeh juga, anaknya indekost di Gorontalo. Dalam perjalanan survey yang kami lakukan ke arah Molotabu sampai ke Molibagu dia sempatkan mampir di rumahnya di tepi jalan raya. Daerah yang kaya, sepanjang perjalanan, indah menyenangkan, sebelah selatan laut jernih, sebelah utara bukit terjal yang subur, pohon kelapa cengkeh dan beragam pohon lainnya.

“Belajar adalah kesenangan, tinggal kelaspun tidak apapa asal sudah belajar” kataku kepada anak anakku, dalam hati mana mungkin tinggal kelas kalau sudah belajar, lalu mereka melakukannya, kini mereka tinggal di rumah masing masing, meninggalkan saya dengan istri tercinta polisi toba. Hahaha sekali sekali datang juga kok ke rumah, bersenda gurau dengan kami.

Kuingat ketika saya duduk di atas meja mahasiswaku kutepuk pundaknya “kamu perantau ya, tanggal berapa habis kiriman” kataku, “bapak ini” katanya sambil tersenyum, “kirim berita baik ke kampung, ayah ibumu dan kepada semua saudaramu, belajar dengan baik” lanjutku, “dan berita baik itu bukan dari suratmu, tetapi dari teman temanmu ini”. Tentu kalau ke mahasiswi saya berdiri dihadapannya memberi semangat. Hmmm..saya dekat dengan mahasiswa.

Lalu bell, tanda jam pelajaran selesai, “buat tugas, bawa minggu depan” kutulis nomor soal dari text book buku pegangan yang telah ditentukan, lalu terdengar protes “bapak belum mengajarkannya” seru mereka. “Mahasiswa harus mampu belajar sendiri, lalu bersosialisasi dalam group”, gaya mengajar saya begitu, lalu minggu depannya kita bahas dan bicarakan kekurangan kalau ada, ternyata mereka bisa dan hebat.

“Sudah tiba Pak” kata temanku membuyarkan lamunanku.

Written by Singal

November 17, 2018 at 11:13 am